Saya selalu kagum dengan orang-orang yang, setelah menimba ilmu dan pengalaman di kota besar, memilih untuk kembali ke daerah asalnya dan berkontribusi membangun masyarakat di sana. Maklum, sebagai orang desa, saya pun termasuk dalam arus urbanisasi yang berpindah dari desa ke kota untuk mengenyam pendidikan dan mencari penghidupan.
Tidak ada yang salah dengan hal ini, karena memang realistis. Namun, bagi mereka yang memilih untuk kembali ke desa dan turut membangun daerahnya, rasa hormat dan apresiasi saya begitu besar. Dewis Akbar adalah salah satu sosok inspiratif tersebut.
Bayangkan, seorang lulusan Ilmu Komputer dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini memilih jalan hidup berbeda. Ia mengabdikan dirinya menjadi seorang guru SD di kampung halamannya, Garut, Jawa Barat. Bukan sekadar mengajar, Dewis punya semangat luar biasa untuk mengenalkan teknologi kepada anak-anak, bahkan di daerah yang serba terbatas.
MiniLab on Bike: Membawa Teknologi ke Pelosok Desa

Dewis mendirikan MiniLab on Bike, sebuah laboratorium komputer mini yang ia rancang di atas sepeda motor. Dengan inovasi ini, ia berkeliling dari sekolah ke sekolah, membawa teknologi dan pengetahuan ke pelosok desa di Garut. Dewis ingin memastikan bahwa semua anak, terlepas dari latar belakang dan lokasi mereka, memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang di era digital.
Pendirian MiniLab didasari karena Dewis menyadari banyak sekolah, terutama di area Regol Garut, yang tidak memiliki laboratorium komputer, sehingga pembelajaran TIK terbatas dan siswa kurang termotivasi.
Ia pun memodifikasi ruangan di SDN Regol 10 menjadi lab komputer mini yang dapat “berjalan”. Dengan berkeliling menggunakan sepeda motor, Dewis membawa lab komputer mini ini ke berbagai sekolah.
STEAM Club: Mencetak Generasi Digital yang Kreatif

Tak hanya MiniLab on Bike, Dewis juga mendirikan STEAM Club, sebuah wadah bagi anak-anak untuk belajar coding, membuat aplikasi, dan mengembangkan kreativitas mereka. Melalui STEAM Club,
Di STEAM Club, Dewis mengajar coding dan pembuatan program/aplikasi pada siswa kelas V. Berdasarkan berbagai artikel yang saya baca, Dewis mengalami tantangan saat menjalankan klub ini. Tantangannya, beberapa siswa belum pernah memakai komputer sehingga kesulitan untuk mengoperasikan seperti mengetik. Tentu ini berbeda dengan siswa yang sudah familiar dengan komputer di rumah.
Namun klub ini tentu berjalan dengan baik mengingat Dewis punya latar belakang ilmu komputer.
Gamelan Elektronik: Inovasi untuk Melestarikan Budaya

Yang membuat saya semakin kagum, Dewis tak hanya fokus pada teknologi modern, tetapi juga peduli pada pelestarian budaya. Ia menggagas gamelan elektronik, sebuah inovasi yang memadukan alat musik tradisional dengan teknologi terkini. Bayangkan, anak-anak bisa belajar bermain gamelan melalui aplikasi di smartphone!
Dewis, yang ternyata juga fasih bermain gamelan, bercerita bahwa idenya berawal dari keprihatinannya melihat anak-anak yang kurang tertarik dengan gamelan. Ia pun berpikir, bagaimana caranya agar gamelan bisa lebih menarik dan mudah dipelajari oleh generasi muda. Berbekal semangat dan kreativitas, Dewis pun menciptakan Saron Simulator, aplikasi Android yang memungkinkan pengguna untuk belajar bermain gamelan secara virtual.
“Aplikasi ini kami rancang agar teman-teman bisa belajar dan bermain gamelan dengan mudah,” kata Dewis seperti yang diungkapkan pada Good News Indonesia.
Uniknya, Saron Simulator ini bukan sekedar aplikasi di layar komputer. Dewis dan murid-muridnya merakit instrumen dari bahan-bahan sederhana seperti akrilik dan kayu, kemudian menghubungkannya dengan aplikasi yang telah diprogram. Suara gamelan dihasilkan dari sampel suara yang direkam langsung dari gamelan asli menggunakan ponsel.
“Dengan coding, sampel suara itu kami masukkan ke dalam aplikasi. Jadi, ketika instrumen dimainkan, suara yang keluar persis seperti gamelan asli,” jelas Dewis lagi.
Saron Simulator dimainkan layaknya gamelan biasa, namun dengan bentuk yang lebih ringkas dan modern. Tak berhenti di saron, Dewis dan siswa-siswanya terus berinovasi mengembangkan aplikasi ini untuk mencakup instrumen gamelan lainnya, seperti peking, bonang, jengglong, gong, dan kempul.
Kreativitas Dewis dalam memadukan teknologi dan budaya tak terhenti di situ. Ia bahkan mengembangkan instrumen gamelan elektronik yang lebih interaktif, yang bisa dimainkan dengan gerakan tubuh, misalnya dengan menyentuh hidung!
Penghargaan dan Pengakuan

Dedikasi dan inovasinya ini membawa Dewis meraih berbagai penghargaan, salah satunya SATU Indonesia Award 2016 dari PT Astra International Tbk. Penghargaan ini merupakan bukti nyata bahwa semangat Dewis dalam memajukan pendidikan dan melestarikan budaya telah diakui dan diapresiasi. Ia juga mendapatkan penghargaan lainnya, seperti Indonesia ICT Awards (Inaicta) 2014 dan Merit Award Asia Pacific ICT Alliance (Apicta) Awards 2014.
Mewujudkan Mimpi Pendidikan yang Merata
Dewis memiliki mimpi besar untuk membangun model pendidikan ICT yang terdesentralisasi dan terlokalisasi, sehingga dapat menciptakan akses bagi generasi muda ke dalam dunia digital, khususnya di daerah terpencil. Ia ingin agar semua anak di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan mengembangkan potensi mereka di era digital.
Inspirasi bagi Negeri
Kisah Dewis Akbar menginspirasi saya, dan mungkin juga banyak orang. Ia menunjukkan bahwa inovasi bisa lahir dari mana saja, bahkan dari sebuah desa kecil di Garut. Ia juga membuktikan bahwa teknologi dan budaya bisa berjalan beriringan, saling melengkapi, dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa.
Dewis Akbar adalah sosok penggerak, inovator, dan pelestari budaya. Ia adalah contoh nyata bagaimana seorang individu bisa membuat perbedaan dan memberi dampak positif bagi masyarakat dan negeri. Salut untuk Dewis Akbar dan perjalanannya! Semoga kisahnya bisa menginspirasi lebih banyak lagi anak muda, khususnya mereka yang tumbuh di desa, menimba ilmu di kota, dan kemudian kembali untuk membangun daerah asalnya.

Leave a comment