Image

Judul: Penjaja Cerita Cinta

Penulis: @edi_akhiles

Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta

Cetakan I: Desember 2013

Tebal: 192 halaman

Setiap usai membunuh senja di pesisir teluk yang selalu membuatnya murung, Senja masuk ke dalam biliknya yang termaram. Tak ada listrik di dalamnya, meski di luar  pintu kamar itu selalu tampak benderang. Hanya sebuah lampu minyak yang tergantung setia di salah satu tembok kamar itu. Aura suram kekuningan tua, menyerupai senja yang tua, yang khas dengan nuansa mistiknya, begitu terjal, membekap setiap jengkal ruangan itu (hal 16) 

Hal pertama yang dirasakan saat membaca paragraf  pada cerpen ini adalah bahwa penulis cepen ini memang kaya akan diksi. Tentu karena beliau adalah seorang yang berpengalaman. Cerpen pembukannya yang berjudul sama dengan judul bukunya ini seolah menampar para penulis bahwa diksi sangatlah penting. Hal itu yang dirasakan saat membaca cerpen “Penjaja Ceria Cinta” ini. Buku setebal 192 halaman yang memuat cerpen-cerpen dengan berbagai variasi ini dibuka dengan sangat menarik oleh penulisnya, Edi Mulyono atau lebih dikenal dengan Edi Akhiles.

Beliau tidak hanya lihai dalam diksi tapi juga mampu membuat cerita yang menarik dengan pembawaan narasi yang beragam. Pada cerpen pertama saja, yakni “Penjaja Cerita Cinta”, penulis menarasikan kisah dongeng dalam bentuk alur yang indah dengan diksi yang boleh dikatakan tergolong romantik. Ketika membaca bagian ini, pembaca seolah diajak menikmati cerita indah tentang Senja. Sang pendongeng bukan hanya bercerita pada Nyonya Sri tetapi juga kepada para pembaca. Karena sifatnya yang seperti sebuah dongeng, tak heran  cerpen bagian pertama dari lima belas cerpen yang ada di buku ini, cerpen inilah yang tergolong panjang. Namun panjangnya cerita tidak akan membuat pembaca merasa bosan. Justru pembaca akan memainkan imajinasi jika membaca cerpen ini sembari dihayati. Tengok saja kutipan di awal. Penulis tidak hanya berusaha menggambarkan apa yang terjadi tetapi juga melukiskan situasi. Hal ini juga tampak pada kutipan berikut ini

Hanya sebuah lukisan sabit senja yang selalu pekur ditatapnya itu, yang tergantung di sebelah lampu minyak tua itu, yang tahu betul betapa tersiksanya Senja sepanjang hari dan malam. Ya, siang malam selalun senja di kamar Senja. Dan, selama matanya membuka, selama itu pulalh ia takzim dengan kening berkerut, kadang mata disabut kabut tipis, kadang kelopak yang membanjir ruah oleh air-air hangat, dada berguncang dihempas badai, yang tak berkata-kata,. Sesekali, memang, meski sangat jarang, suara kecil teriris, dari bibirnya yang pucat sangat pasi. (hal 17)

Pada bagian ini, pembaca dibawa pada suasana dengan gambaran yang menarik. Ada metafora di paragraf ini dan siapapun yang membaca cerpen ini, pembaca akan banyak menemukan majas-majas lain. Contohnya lelaki berwajah badai, lindasan keping-keping waktu, lelaki bermata senja, sekuntum tubuh, dan lain sebagainya. Membaca narasi suasana pada cerpen ini benar-benar mengusik imajinasi. Apalagi terkadang beberapa pargraf perlu dibaca ulang atau sekadar membuka kamus untuk memahami kata-kata yang baru dikenal. Namun bukan berarti hal itu menggangguku. Justru disitulah kemenarikan cerita ini.

Secara keseluruhan, cerpen Penjaja Cerita Cinta adalah cerpen yang baik dalam narasi dan diksi. Namun cerita pada cerpen ini terasa kurang menggigit. Penceritaan Senja tampak lebih menarik dibanding adegan Nyonya Sri dan sang penceritaanya. Bagi pembaca cerpen yang ingin alur yang seketika tentu akan kurang menyukai cerpen semacam ini karena cerpen ini termasuk cerpen yang cukup panjang.

  Variasi Gaya Cerpen yang Tetap Berisi

Setelah dihidangkan cerita memikat yang lekat dengan novel-novel khas “sastra serius”, penulis membawa pada cerita berjudul Love Is Ketek. Jika membandingkan cerpen pertama dan kedua ini, tampak bahwa penulis tidak hanya punya gaya bercerita yang memsona namun juga penulis mampu membuat pembaca terbahak dengan gaya bercerita koplak. Itulah yang terjadi pada cerpen Love Is Ketek. Cerpen khas sehari-hari yang bikin geli. Dengan gaya penceritaan yang santai, penulsi mencoba menghubungkan arti dari cinta dan ketek. Sungguh ide yang benar-benar jarang dipikirkan orang biasa.

Setelah Love Is Ketek, penulis merajut kata dengan cerpen Cinta yang Tak Berkata-kata. Ada kesan tersendiri dari cerpen ini. Cerpen ini mengusung tema cinta yang ringan namun dibalut dengan kemasan yang tidak dangkal. Bahkan cerpen ini malah mengingatkan cerpen-cerpen  yang sering muncul di surat kabar tertentu tiap minggunya. Cerpen ini sendiri sebenarnya adalah perwujudan dari penulis cerpen yang mengacu pada konsep menulis indah dengan tema yang mudah. Hal inilah yang tampak ingin disampaikan oleh penulisnya bahwa konsep tema yang mudah seperti cinta bisa dikemas menarik dan menggoda seperti cerpen ini. Tengoklah kutipan yang akan cukup membuat pembacanya merangkai senyum ini.

“Aku hanya bisa memberimu cinta yang berpijar dari hati…” ucapnya suatu sore menjelang senja di sebuah kafe murahan. Kami hanya memesan es teh manis, plus 2 potong pisang goreng. “Kuharap kamu mau mengerti betapa ketulusan hati jauh lebih berharga dari kemilau berlian (hal 55) 

Dijual Murah Surga Seisinya adalah cerpen yang juga cukup menarik. Ada kritik sosial yang ingin disampaikan dari cerpen ini. Meski kritik tersebut tidak begitu terasa karena penulisnya mengemas cerita ini dengan sedikit sentuhan lelucon. Cerita tampak seperti sebuah ironi dan seperti menyindiri banyak orang tentang hal terkecil yang jarang sekali diperhatikan orang terutama pria muslim, yakni menyumbang kencleng mesjid saat shalat berjamaan. Bisa dikatakan cerpen ini benar-benar pintar dalam memberikan pesan tersiratnya.

Setelah disuguhi ironi dari sebuah cerpen, penulis membawa pembaca pada cerita serius yakni Menggambar Tubuh Mama dan Secangkir Kopi Untuk Tuhan. Tidak ada yang spesial dari kedua cerpen ini namun kedua cerpen ini memiliki  tema dan gaya penceritaan yang menarik. Menggambar Tubuh Mama bercerita tentang penederitaan mama seorang ibu dan Secangkir Kopi Untuk Tuhan tentang kematian seorang pembalap ternama. Kedua cerpen ini memiliki gaya penceritaan dan narasi yang agak-agak mirip. Bedanya cerpen Menggambar Tubuh Mama lebih menyentuh sedangkan Secangkir Kopi Untuk Tuhan  akan memberikan perenungan tentang sebuah kematian.

Tak Tunggu Balimu adalah cerpen selanjutnya dalam buku kumpulan cerpen ini. Cerpen ini berada sekelas dengan Love is Ketek. Hanya saja Tak Tunggu Balimu dibawakan dengan gaya narasi yang masih baku dan tidak selepas Love is Ketek. Cerpen ini cukup menarik, sayangnya membaca cerpen ini seperti mendengar dosen yang sedang berkuliah saja. Penulisnya cukup pintar untuk memasukan berbagai istilah dan materi yang disukainya. Sayangnya belum tentu materi tersebut mudah dimengerti meskipun materi kuliah pada cerpen ini memiliki hubungan dengan cerita. Untungnya pada cerpen selanjutnya yang berjudul Cinta Cantik, sedikit lebih menarik dan cerpen ini pun memiliki gayangnya sendiri meskipun secara tema kurang lebih sama dengan Love is Ketek.

Dari delapan cerpen awal yang disajikan, kesemuanya memiliki kejeniusan dalam pembawaan tema dan cerita. Meskipun Sapardi pernah berkata bahwa “pengarang telah mati ketika karyanya lahir”, kedelepan cerpen di atas mau tidak mau akan tetap dihubungkan dengan penulisnya. Beberapa cerita yang disajikan penulis tampak merupakan fakta yang kemudian dioalah dengan imaniasi sehingga menghasilkan keindahan fiksi. Menariknya fiksi-fiksi yang ada ditampilkan dengan gaya bercerita yang berbeda. Lalu bagaimana  dengan cerpen sisanya?

Pembelajaran Menulis dari Ragam Cerpen yang Ada.

Pada sisa cerpen lainnya, penulis sebenarnya masih membawa tema yang sama dengan delapan cerpen sebelumnya. Pada cerpen Tamparan Tuhan, misalnya cerpen ini membawa tema agama namun juga menyuratkan pergulatan batin tokohnya. Begitupan dengan cerpen Aku Bukan Batu. Yang cukup menarik dari cerpen Tamparan Tuhan, adalah bahwa penulis membuka cerpen ini dengan sangat benar-benar “pecah” sekali seperti yang diungkapkannya berikut ini.

Udara pecah, sepecah hatiku terkeping-keping dan terkapar-kapar. Sungguh ini bukan hanya soal komitmen, tapi juga soal Tuhan. Mereka sama sekali tak tahu apa-apa tentangku, dan biarkan seua muntahan dan ludahan mereka bertetesan layakanya liur anjing dan serigala  yang menjijikan menodai tanah, menjadikannya hamil, dan melahirkan anak-anak buruk lupa lagi, hingga kian sesaklah muka bumi ini dihidupi para muka bejat dan kian gerahlah udara dihuni sumpah serapah sepanjang masa. (hal 113) 

Gaya pembukaan cerita   tersebut  sangat “nampol”. Persisi seperti apa yang selalu dikatakan penulisnya baik lewat blog ataupun kicauannya di twitter tentang pembukaan cerita agar semua orang tertarik. Dan bisa dilihat dari kutipan tersebut, penulis tidak hanya mengandai-andaikan saja, tetapi juga mengimajinerkan sesuatu yang hina dengan konteks pengandaian yang sangat baik sehingga kesan yang didapatkan dari makna tersirat semakin kuat. Hal yang cukup bisa diambil bahan pembelajaran bagi penulis lain dalam bercerita.

Bila sebelumnya ada cerpen Menggambar Tubuh Mama, maka tema hampir serupa juga ditunjukan penulis lewat  Abah, I Love You  dan Lengkingan Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya. Kedua cerpen ini dilukiskan dengan gaya penceritaan  yang agak-agak mirip. Dan diksi yang digunakan pun tetaplah kaya meski tidak sekaya pada cerpen pembuka buku ini.

Hal yang menarik dari cerpen Abah, I Love You  dan Lengkingan Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya ini adalah tentang tema hubungan kasih sayang orang tua dan anak. Abah, I Love You menitikberatkan pada cara pandang si tokoh aku dalam cerita yang kesal dengan sikap ayahnya dalam mengasih dirinya. Namun sikap ayahnya ini tenyata memiliki dampak positif di kemudian hari. Hubungan orang tua dan anak pun digambarkan lewat cerpen Lengkingan Hati Seorang Ibu yang Ditinggal Mati Anaknya. Kali ini hubungan  ibu dan anak. Bila menilik ketiga cerpen bertema orang tua ini, tampak penulis mengagungkan orang tua sebagai orang yang patut dihormati dan orang yang patut dijunjung tinggi.

Sebenarnya ada satu cerpen lagi yang bertema tentang hubungan keluarga, hanya saja bukan tentang orang tua dan anak melainkan. Cerpen tersebut berjudul Munyuk. Cerpen ini hadir dengan gaya yang tergolong umum. Tidak begitu spesial. Judulnya cukup unik namun cerpen ini justru hadir dengan hubungan batin yang cukup baik untuk direnungkan. Membaca cerpen ini, sama seperti tema cerpen tema keluarga lainnya pada buku ini, malah mengingatkan pada cerita yang selalu hadir  pada sebuah majalah yang umum dibaca ibu-ibu.

Gaya bercerita menarik disampaikan di cerpen berjudul Cerita Sebuah Kemaluan. Jangan langsung menilai bahwa cerpen ini akan terdengar seperti kumpulan cerpen Jangan Main-main dengan Kelaminmu!. Tidak, cerpen ini punya khas. Gaya penceritaan cerpen ini malah lebih menarik dibandingkan Djenar Maesa Ayu. Bila Djenar cukup frontal dalam menyerukan idealisme dalam cerpennya, cerpen karangan Edi Mulyono justru lebih halus. Dengan judul yang mengundang orang untuk membacanya, cerpen ini bercerita tentang arti penting dari sebuah kemaluan. Dan pertanyaan penting dari cerpen ini yang cukup menohok adalah bahwa mengapa manusia hanya diciptakan dengan satu kemaluan?. Dan penjelasan tentang pertanyaan tersebut cukup baik digambarkan lewat alur cerita pada cerpen ini.

Cerpen terakhir berjudul Si X, Si X, and God. Ada dua kesan yang didapatkan pada cerpen terakhir ini. Pertama penceritaan dengan hanya mengandalkan dialog adalah gaya bercerita yang tidak umum untuk sebuah cerpen. Bukan jenis gaya baru memang, karena pengarang Utuy T Sontani pernah melakukannya di masa lalu. Gaya bercerita ini saat ini jarang digunakan, mungkin karena penulis takut terjebak pada pakem naskah drama. Padahal gaya bercerita bisa menjadi alternatif dalam bercerita. Kesan kedua adalah bahwa cerpen ini membawa ingatan pada naskah drama Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Menunggu Godot bercerita tentang Vladimir dan Estragon yang menunggu kehadiran seseorang ayitu Godot. Keduanya terlibat dalam pembicaran tentang banyak hal tentang hidup. Sama seperti yang dituangkan Samuel Beckett, cerpen ini pun bicara banyak hal tentang kehidupan, realitas dan Tuhan. Bahakan bisa dianggap judul cerpen Si X, Si X, and God bisa jadi merupakan parodi atas Vladimir dan Estragon yang menunggu Godot.

Kesimpulan

Kumpulan Cerpen Penjaja Cerita Cinta bukanlah sebuah kumpulan cerita iseng semata. Cerita yang hadir tidak hanya menghadirkan ragam gaya menulis seperti yang diungkap penulisnya. Secara tidak langsung, kumpulan cerpen ini bercerita tentang hakikat cinta dari berbagai segi dan dengan ebrbagai gaya. Cinta antara hubungan pria dan wanita, anak dan orang tua, manusia dan Tuhan, bahkan antara pendongeng dan orang yang didongengkan. Dengan ragam pembawaan cerita yang variatif tersebut, cerpen ini bisa jadi bahan bacaan yang baik untuk yang mereka yang belajar menulis. Bisa dibilang buku ini sangat baik. Kelebihannya tentu dari segi gaya bercerita yang beragam meski beberapa cerita tampak memiliki gaya serupa Bila ada kekurangan dari buku kumpulan cerpen ini, tidak lebih dari segi faktor layout kertasnya. Tampilan gambar background pada halaman demi halaman sedikit mengganggu kenyamanan membaca. Akan lebih baik jika tiap halamannya tidak menggunakan background.
Salam, Januari 2014