Terik matahari itu masih menyengat. Tetapi beberapa langkah kedepan, ada sebuah restoran asri. Restoran tersebut tepat berada di perempatan Paskal-Pasteur, dibawah jembatan layang Pasopati Bandung yang agung, Yang memberi corak pada kota busana ini.

 

tampak depan yang asri
tampak depan yang asri

Menilik pohon di depannya, rindang, hijau, asri, seperti sebuah tempat yang berposisi sebagai jantung kota. Sebagai penyuplai udara bukan perusak nafas. Angin yang semilir ketika memasuki gerbangnya membuat siapapun akan merasa seperti bukan berada di tengah kota yang sibuk. Padahal tempatnya begitu megah, dengan corak coklat yang membuat kesan tradisional.

Kesan yang sama akan dirasakan begitu memasuki  rumah makan ini. Meja yang terbuat dari kayu, dekorasi yang antik dan unik, dan dikelilingi pepohonan yang memberi sejuk sejauh mata memandang. Oh yah, jangan lupakan lampu-lampu yang menggantung. Mereka bukan hiasan semata. Mereka ada memberi kesan asri dan romantis. Bergandengan dengan pasangan ke tempat ini pasti lebih romantis dibandingkan sendirian dan makan ditemani gadget kesayangan.

Lampu Menggantung
Lampu Menggantung

“Maaf, Mas mau pesan apa?”

Hey, aku masih belum puas menatap dekorasi tempat salah satu tempat kuliner Bandung ini. Tapi Seseorang berbaju merah, berkerudung hitam, dengan senyum seperti bunga yang mekar di pagi hari menyapaku. Tidak, dia tidak meananyakan nomor teleponku. Dia menanyakan apa pesananku. Ooh, aku baru ingat sekarang, aku terlalu asyik menatap dekorasi pepohonan dan daun yang menggantung di atap. Rasanya-rasanya ini bukan restoran. Ini seperti taman Kerajaaan di drama karya Sopokhles. Oh tidak, suasana ini mirip latar cerita Romeo Juliet Shakeaspeare atau taman di drama “Impian di Tengah Musim”.

 

daun di atap
Lampu Menggantung
Lampu Menggantung

Apa yang kujabarkan bukan berlebihan. Lampu kuning, dedaunan di atap, pohon rindang dengan daun hijau, serta sarang burung yang membungkus lampu menjadikan tempat ini bukan sekadar tempat makan biasa. Melamun dengan ketakjuban ini, aku disadarkan kembali oleh pegawai cantik itu. Aku melihat pajangan di depanku. Disana ada demo menu utama yang disajikan. Macam-macam menu yang akan menghajar perutku yang berbunyi siap dipilih. Ada bebek bakar, bebek rica, bebek cabe ijo, bahkan bebek utuh bisa aku pesan. Harganya  tidak mahal. Untuk satu menu bebek, harganya lebih murah daripada tiket bioskop dan jauh lebih murah dibandingkan pulsa paket internetmu. Harganya, cuman Rp 24.500. Untuk bebek utuh, kocek yang dikeluarkan adalah Rp 98.000

Ini Foto Bebek Utuh yang Dipesan Pelanggan Lain
Ini Foto Bebek Utuh yang Dipesan Pelanggan Lain

Lidahku berkata seenaknya kalau perutku menginginkan bebek bakar. Perutku tampaknya menolak makanan dengan minyak berlebih. Ah sudahlah, jangan bicarakan perut. aku lupa mengecilkannya. Lupakan hal itu. Aku ditarik oleh magnet gadis dari restoran ini. Dia menungguku di kasir untuk membayar menu yang aku pilih. Tapi tunggu dulu nona, aku masih mau dimsum, telur asin, sambal daun pepaya. dan tentu saja nasi merah. Mengapa nasi merah? Tahu sendiri, tadi aku bercerita tentang perutku. (lagi-lagi tentang perut)

Pilihan menu aku akhiri dengan segelas jus mangga. Setelah itu, aku mendekati kasir yang sudah dari tadi senyum padaku. Aku tahu senyu yang mungkin lebih manis dari mangga ini tidak hanya senyum untukku tetapi juga untuk semua pelanggan di restoran ini. Senyum yang tak ia paksakan, senyum yang menyatakan bahwa ia senang bekerja disini . Keramahan dan ketulusan mencintai pekerjaan membuat aku seperti Prabu Brawijaya yang siap dilayani oleh pelayannya.

senyum karyawan akan membuatmu merasa senang
senyum karyawan akan membuatmu merasa senang

 

 

Aku duduk di kursi memanjang itu. Kursi yang ditemani dengan meja panjang yang terbuat dari kayu asli. Sekalipun sedikit keras tapi itu tidak akan membuatmu tidak nyaman. Kamu akan menikmati hidangan enak ini dengan tentram meski ada deru bising di samping, meski ada udara panas yang sebentar menghinggap, tidak serta merta membuatku segera perdi dari sana. Tiap gigitan bebek bakarnya yang empuk, nasi merah yang mudah dicerna, serta dimsum yang terus membangkitkan selera membuatmu lupa bahwa aku ada di tengah kota, di sebuah tempat makan enak dan murah di Bandung.

 

Karena enaknya, aku cepat menghabiskan hidangan ini
Karena enaknya, aku cepat menghabiskan hidangan ini

Aku termasuk orang yang makan dengan cepat. Sekalipun begitu aku selalu menikmati tiap gigitannya. Tulang bebeknya yang tidak terlalu keras, isi daging penuh yang begitu terus menggoyangkan lidah, serta rasa manis dari jus mangga membuat sore menjelang siangku lebih hebat dan kenyang dari sebelumnya. Selesai memakan, percayalah surga itu ada disana. Ditemani lampu yang meski siang tidak menghilangkan kesan romantisnya. Ditemani musik akustik yang akan membuat telinga tidak terusik, mengalun membuat diri ini menjajakan kaki ke istana langit. Bayangkan, ketika kamu memakannya, kamu tidak sedang memakan bebek biasa. Kamu akan merasa memaka daging bebek di istana, di sebuah taman bunga, atau mungkin serasa di kebun desa tempat pertama menyapa dunia.

Selesai prosesi makan, aku diamkan diriku sebentar, masih mentap keindahan dan kenyamanan ini. Angin sepoi membuat suasana semakin romantis. Dan senyuman karyawan yang membereskan peralatan makan semakin meromantikan suasana di tempat ini.  Suasana yang nyaman dari setiap sudutnya

 

Suasana Rindang Bebek Kaleyo
Suasana Rindang Bebek Kaleyo
suasana tradisional yang lekat
suasana tradisional yang lekat
tak boleh melewatkan musik akustik
tak boleh melewatkan musik akustik

Tempat makan itu adalah sebuah restoran bebek. Tetapi mungkin aku lebih suka menyebutnya sebagai Istana Makan Bebek Paling Enak. Tidak! Menurutku ini adalah tempat makan bebek yang enak, dengan suasana nyaman, untuk datang sendirian, berpasangan, atau berkumpul bersama teman-teman. Tempat itu adalah Bebek Kaleyo. Sebuah tempat yang akan membuat Bandung lebih memesona, lebih romantis dibandingkan sebelumnya. Tempat ini juga akan semakin memantapkan Bandung sebagai kota kuliner.

Menjelang sore, aku pergi dari tempat itu. Aku tutup catatanku ketika matahari sudah mulai hendak turun di Barat. Aku keluar dengan angin Bandung sore yang membuat badan nyaman. Tetapi otakku terus memikirkan seribu kenangan tentang tempat, suasana, pelayanan, dan tentu rasa yang tidak akan dilupakan begitu saja.

 

 

Bandung, 28 Maret 2015