Communication – the human connection – is the key to personal and career success.

Paul J Meyer, pendiri Success Motivation Institute, mengatakan kalimat tersebut. Dalam bahasa Indonesia, kalimat yang menurut saya filosofis  tersebut berarti bahwa dalam komunikasi, hubungan manusia adalah kunci kesuksesan pribadi dan karir.

Sebuah kalimat yang tepat yang menggambarkan kondisi tentang perkembangan karir di era modern ini. Betapapun kita bisa melakukan segala sesuatu dengan internet, tetapi berhubungan langsung secara sosial itu masih sangat penting.

Hal ini pernah saya alami saat menjadi pekerja lepas rumahan selama tiga tahun. Katanya, jika dalam tiga tahun, kehidupan karier kita tidak berkembang, maka ada yang salah dengan cara kita bekerja dan berkomunikasi.

Saya baru sadar tentang hal ini. Di tahun ketiga, saya tidak melulu berada dalam dunia komputer dan rumah saja. Saya mulai mengenal beberapa teman baru. Mereka inilah yang kemudian menjadi titik balik dalam karier blogging saya sampai akhirnya saya juga mendapat pekerjaan penuh waktu pertama kalinya dalam karier.

Apa yang saya alami kemungkinan besar terjadi di berbagai perusahaan rintisan. Atau bahasa kerennya startup. Hanya sedikit startup yang mampu bertahan. Paling cuman 3% yang mengalami kemajuan. Sisanya banyak yang tidak berkembang selama 2 atau 3 tahun beroperasi.

Data tersebut diperkuat oleh laporan Techin Asia Indonesia yang dirilis pada Juli 2017. Berdasarkan data tersebut, jumlah startup baru di Indonesia mengalami penurunan 23 persen jika dibanding tahun 2016. Penurunan tersebut disebabkan karena berbagai masalah, seperti tidak efektif manajemen startup tersebut, tidak ada suntikan dana, dan yang paling banyak adalah membuat produk yang tidak dibutuhkan pasar.

Tapi saya melihat justru tidak berkembangnya startup  karena startup tersebut boleh dikatakan “kurang gaul”. Jika balik ke kalimat mutiara dari Paul J Meyer, maka gagal berkembangnya startup bisa jadi kebanyakan kurangnya berkomunikasi atau membangun jaringan. Terlalu sibuk dan ambisius di dalam ruangan sehingga lupa hubungan dengan orang di sekitar. Atau kurangnya pembelajaran dari orang-orang yang berpengalaman.

Untuk itu, penting bagi perusahaan rintisan untuk tidak hanya fokus pada produk, tetapi juga membangun jaringan, belajar dari orang. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan berkantor di coworking space.

Coworking Space? Makhluk apa itu?

Dalam bahasa Indonesia, coworking space bisa dikatakan sebagai sebuah tempat atau fasilitas yang bisa digunakan untuk berkantor bersama. Misalnya, seorang pekerja lepas tidak punya tempat kerja, akhirnya ia memilih coworking space sebagai tempat kerjanya. Di tempat ini, ia melihat orang lain yang juga seorang pekerja lepas bekerja di tempat tersebut. Tak hanya orang, ia juga melihat tim yang lebih dari 3 orang berkumpul dan berkantor tiap jam kerja.

Mereka berada dalam satu ruangan kantor yang bisa dimiliki bersama dan bisa jadi alamat tetap ketika ada klien menghubungi mereka.

Konsep coworking space ini sudah dipopulerkan 15 tahun lalu di Wina, Austria lewat sebuah pusat enterpreneurship bernama Schraubenfabrik. Di Indonesia, konsep coworkng space baru dikenal tahun 2010 di Bandung oleh Yohan Totting.

Pada perkembangannya, coworking space mulai populer. Banyak coworking space dibuka di berbagai kota besar di Indonesia. Mereka hadir untuk mewadahi para startup atau pekerja lepas yang membutuhkan kantor bersama.

Seiring dengan berkembangnya startup, coworking space juga banyak bermunculan. Tapi seiring dengan tumbangnya startup pula , beberapa coworking space pun ikut tumbang.

Situs Tirto bahkan menyebut bahwa bisnis coworking space sedang berada di persimpangan jalan. Itu artinya, bisnis coworking space di Indonesia sedang mengalami paceklik atau tidak bisa berkembang seiring banyaknya coworking space yang tutup.

Apa itu artinya coworking space bukan tempat yang bagus untuk para pebisnis rintisan?

Jawabannya adalah “ya” dan “tidak”. “Ya”, jika para pelaku bisnis, baik perseorangan maupun tim (startup) memiliki dana yang cekak tetapi ingin berkantor di coworking space.

“Tidak”, jika para pelaku bisnis, penggiat startup, dan perusahaan rintisan mampu menemukan tempat coworking space yang tidak sekadar mencari keuntungan dari penyewaan tempat, tetapi juga tumbuh dan berkembang bersama coworking space itu sendiri.

Pilihan jawaban “ya” mengacu pada fenomena mahalnya coworking space yang “mencekik kantong” penggiat startup maupun enterpreneurship yang sedang berkembang. Karena mahal, mereka pun  lebih memilih bekerja rumahan, warung kopi, atau bahkan mini market yang menyediakan tempat kursi, colokan listrik, dan tentu saja Wi-Fi. Mereka berpikir bahwa bekerja di coworking space memakan biaya mahal bahkan biayanya bisa lebih mahal dibanding menyewa kantor sendiri.

Fenomena ini yang membuat beberapa coworking space hanya bisa “bernafas” sebentar. Para penyedia coworking space ini cenderung menarik biaya yang cenderung tinggi. Contohnya salah satu coworking space di Jakarta yang menerapkan biaya Rp 500.000 dengan akses 3 hari saja. Tentu para pelaku bisnis akan lebih memilih tempat yang lebih ramah kantong, apalagi mereka masih dalam tahap berkembang.

Jika semua coworking seperti ini, tentu akan berimbas pada perkembangan startup di tanah air yang berdasarkan data yang sudah disebutkan sebelumnya memang menurun pula.

Coworking Space yang Fokus Pada Pengembangan Komunitas

Beruntung masih ada yang coworking space yang percaya bahwa coworking space tidak ada di persimpangan jalan. Mereka yang percaya optimis bahwa coworking space bisa mewadahi para pelaku bisnis dan mereka yang berusaha merintis bisnis. Coworking space yang seperti ini yang perlu dikembangkan agar mendapat perhatian dari para pebisnis. Yakni sebuah coworking space yang tidak hanya sebagai penyewa tempat tetapi juga menjadi wadah untuk berrkembang. Ingat, bisnis coworking space berbeda dengan bisnis properti.

EV HIVE adalah contoh coworking space yang percaya bahwa berkantor di ruang kerja bersama tidak perlu mahal. Bagi mereka, ada yang lebih penting penting dari sekadar penyewaan tempat, yakni pengembangan ekosistem startup (perusahaan teknologi) di Indonesia itu sendiri.

Karena itu, dalam pengembangan coworking space-nya, EV HIVE lebih fokus pada pengembangan komunitas yang menjadi anggota atau menyewa di mereka. Tidak heran, jika EV HIVE sering mengadakan berbagai kegiatan (event) yang rutin digelar. Tujuannya jelas, supaya lebih banyak startup yang berkembang dengan cara belajar serta berjejaring dengan sesamanya.

Bayangkan, jika dalam satu coworking space, ada startup yang sedang berkemang, kemudian ia membutuhkan seorang desainer atau penulis. Jika dalam coworking space itu, ada desainer atau penulis, tentu tidak sulit bagi startup untuk mencari mereka. Sebaliknya, ada startup yang memiliki ide dan eksekusi yang bagus tetapi kurang dalam pendanaan, maka coworking space bisa menjadi jembatan penghubung dengan investor.

Hal-hal itulah yang  EV HIVE  lakukan. Coworking space yang didanai oleh East Venture ini tampaknya memang meyakini filosofi dari Paul J Meyer untuk membimbing startup maju dan berkembang.

Tidak terbatas pada visi saja. EV HIVE menunjukan dengan cara menawarkan paket yang lebih ramah di kantong, bahkan termasuk murah menurut saya. Betapa tidak, untuk akses satu hari, uang yang harus dikeluarkan cuman Rp 50.000 dengan fasilitas jam kerja seharian dan juga gratis minuman.

“Ah kalau harga segitu, di warung kopi juga bisa, malah lebih murah”

Oke, mungkin ada sebagian yang berpikir seperti itu. Tapi percayalah, kenyamanan adalah segalanya. Bayangkan dengan harga yang tidak begitu jauh, kita bisa mendapatkan tempat duduk layaknya kantor dan tanpa gangguan apapun. Beda dengan di warung kopi, akan banyak orang yang datang dan pergi. Yang mungkin duduk di sebelah kita mungkin akan berisik dan mengganggu pekerjaan kita.

Di coworking space EV HIVE, hal itu tidak akan terjadi.

Tentu saya tidak sembarang ngomong karena saya merasakan kenyamanan saat berada di EV HIVE. Pada 21 Agustus 2017 lalu, jauh-jauh dari Bandung, saya berkunjung ke EV HIVE IFC di Sudirman.

Saat saya bekerja dan bekerja  di EV HIVE IFC Sudirman

Aura kerja nan santai saya rasakan ketika duduk dan bekerja. Belum lagi kecepatan internet yang cukup kencang. Tidak terbayang sebelumnya jika saya bekerja di kawasan Sudirman, meskipun cuman sehari sih.

Ngomong-ngomong, EV HIVE IFC Sudirman adalah EV HIVE yang memiliki fasilitas lebih lengkap dibanding EV HIVE lainnya. Fasilitas seperti tempat santai buat lesehan, main PlayStation4, dan lainnya khas kantor teknologi kekinian hadir di EV HIVE ini.

Yang saya rasakan saat ada di EV HIVE IFC adalah kesan kantor resmi yang nyaman tetapi juga santai. Simak potret suasana EV HIVE IFC dibawah ini.

 

Jika ingin coworking space yang lebih go-green, bisa ke EV HIVE The Breeze yang ada di BSD.

EV HIVE The Breeze. sumber https://www.instagram.com/p/BWJwFO4jIhZ/?taken-by=evhive

Lho ada 2?

EV HIVE (saat artikel ini dibuat) memiliki 7 kantor yakni JSC Hive, EV HIVE D.LAB, EV The Maja, EV HIVE The Breeze, EV HIVE IFC, EV HIVE Dimo, dan EV HIVE Satellite.

Menurut Mbak Imez, Facility Manager EV HIVE IFC, kedepan akan ada banyak lagi kantor EV HIVE yang akan dibuka. Tidak hanya di Jakarta tetapi juga kabarnya akan ada di kota lain.

Mbak Imez, Facility Manager IFC

Berhubung saya ada di Bandung, tentu saya mengharapkan EV HIVE bisa hadir di kota ini. Di Bandung, banyak pelaku startup dan para enterpreneur yang bisa bekerja di EV HIVE. Memang ada coworking space di Bandung. Saya sempat coba salah satunya. Berhubung coworking space tersebut menyatu dengan kafe, perasaan yang didapat bukan bekerja di coworking space. Tidak ada bedanya dengan bekerja di warung kopi pada umumnya.

 

Jika melihat berkembangnya EV HIVE dan harga yang ditawarkan, saya percaya bisnis coworking space tidak akan ada di persimpangan atau bahkan menemui jalan buntu. Bisnis ini akan terus berkembang selama dijalankan dengan benar seperti yang dilakukan EV HIVE.

Terlebih EV HIVE menawarkan paket untuk tim seperti Flexi Desk, Dedicated Desk, bahkan Private Office dengan harga yang lebih terjangkau. Dengan paket tersebut, iklim atau ekosistem startup di Indonesia akan turut terbantu karena tersedianya coworking space yang terjangkau bagi mereka.

Keuntungannya buat para enterprenuer bekerja disini? Tentu saja selain bisa menghemat biaya untuk sewa kantor, para enterpreneur dan pelaku startup bisa saling berjejaring atau dalam hal ini berkomunias. Dengan berkomunitas, EV HIVE percaya mereka akan bersinergi dan berkembang bersama para startup.

Sebagai catatan penutup, saya ingin berkata untuk EV HIVE agar tetap mempertahankan filosofi Paul J Meyer. Meskipun EV HIVE memiliki visi dengan filosofi atau kalimat muttiara dari Paul J Meyer, ruh tujuannya tetap sama yakni untuk terus saling terhubung antara para pelaku yang ada di EV HIVE.  Bahasa kerennya mengembangkan network.

Semua foto adalah dokumentasi pribadi penulis kecuali yang tertera sumbernya.