Kalau ada hal yang aku rindukan saat ini, itu adalah kebersamaan. Perasaan semacam itu sudah hilang dua atau tiga tahun belakangan. Langkahku untuk meninggalkan dunia bernama kebersamaan itu adalah langkah berat.

Betapa tidak, aku besar dan menemukan diriku dalam sebuah proses berkesenian. Membuat sebuah kelompok seni 10 tahun lalu, membuat pertunjkan sederhana, membantu pertunjukan teman, semua aku lakukan dalam 4 tahun awal. Tapi, 4 tahun selanjutnya aku lebih banyak bertugas di belakang.
Aku mengajar klub drama di salah satu sekolah negeri. Kesibukan itu aku lakukan sembari mencari nafkah dengan mengajr di salah satu bimbingan belajar.
Apa yang aku lakukan itu memiliki resiko, skripsiku yang tertunda. Terlebih aku juga menikmati jadi operator di salah satu warnet temanku. Diantara semua kesibukan itu, berporses kesenian yang paling aku nikmati. Membuat pertunjukan bersama adik-adik berseragam putih abu adalah sesuatu yang sangat aku rindukan.
Bukan cuman soal proses pertunjukan, ketika latihan biasa, ketika hanya bersapa seminggu satu kali saja, aku menemukan senyum mereka. Senyum yang penuh makna bahwa mereka tidak sia-sia masuk klub drama. Meskipun mereka harus mengorbankan waktu untuk keluarga, meskipun mereka harus membagi waktu dengan tugas, dan membuang waktu main mereka, mereka tetap bahagia.
Mereka suka dalam satu kumpulan lingkaran yang tiap Rabu sore itu menggemakan sekolah, bahkan mungkin kadang menggangu tetangga. Maklum sekolah itu dekat sekali dengan pemukiman warga. Tidak jarang, ada lemparan batu melewati tembok pembatas. Mungkin mereka terganggu karena suara kami terlalu nyaring atau karena tawa kami terlalu besar.
Kadang kami diam dalam keadaan itu. Kami pindah lokasi untuk kembali berlatih. Terkadang kami pulang karena waktu sudah hampir malam. Seketika itu, kami lepas kebersamaan kami dan menemukan bahwa kami punya dunia kami sendiri di tempat yang bernama rumah.
Kebersamaan itu aku akhir pada akhir tahun 2012. Keputusan itu aku buat ketika aku menemukan wajah-wajah baru yang baru memakai putih abu.
Ada nama Haura yang ekspresif tapi lebih sering bermuka pasif. Ada Alya yang polos tapi wajahnya memesona. Ada Aulia, gadis berkacamata dari Yogya. Ada lagi, ah, aku hampir lupa namanya.
Tapi kebersamaanku bersama mereka berakhir pada Januari 2013 yang manis.
Dua bulan sesudah kami melaksanakan pertunjukan di atas pentas. Satu bulan sesudah kami bercengkrama dalam malam kebersamaan.
Tahun 2013 itu, tahun pijakanku ke arah yang lebih baru. Aku senang mengajar tetapi aku tidak menemukan diriku. Maklum, di usiaku itu, aku harus sudah bisa mencari uang lebih baik. Tidak hanya bermain-main dalam dunia drama. Aku butuh suasana yang berbeda.
Aku tinggalkan semua aksesoris seniku. Aku lupakan masa rindu ketika berporses, ketika melihat tepuk tangan dari bangku penonton di Rumentang Siang. Aku membuka catatanku dan kulihat ada mimpiku yang lain, yang terabaikan, menjadi penulis.
Kesalahanku adalah aku tidak mengeksplor diriku. Aku masih ragu dan terlalu banyak malas. Padahal aku sudah resiko untuk melakukan ini semua. Mencari cara baru agar aku terus bernafas, setidaknya aku masih bisa memberikan jawaban, ketika pulang lebaran.
“Sudah lulus kuliah, kerja dimana sekarang?’”
Aku bisa menjawab dengan sederha, “Komputer”. Terlau panjang dan bertele-tele jika aku jelaskan bahwa aku jadi penulis lepas sembari jadi operator warnet. Masa, lulusan sarjana dapat kerja kayak SMA. Mungkin sebagian dari teman atau kerabat di kampungku akan berpikir demikian.
Profesi ini aku jalani dengan proses pembelajaran yang berat. Ternyata kemampuan menulisku memang tidka terasah. Aku terlalu sibuk berinternetan, dan aku terlalu sibuk berpentas drama. Kadang di saat itu, aku sedikit memiliki penyesalan, kenapa aku berhenti menulis? Tak apalah membuat buku. Tulisanku di buku putih itu harusnya terus berlanjut.
Di satu sisi, ketika tengah malam tiba, profesiku membuatku harus berhadapan pada layar monitor, sendirian, dikejar deadline……
Lantas, kebersamaan itu, masih menggantung, sampai tiba saatnya menemukan suasana baru,…
Juli 2015