Kebersamaan itu tidak aku temukan lagi. Dua atau tiga tahun lalu itu, aku sudah lupa rasanya kumpul dan melakukan proses berkesenian atau sekadar membuat sebuah acara. Aku bahkan lupa, kapan bisa tertawa dan menggila bersama. Masa kuliah, sudah lewat, masa bersama teman sekelompok masih lanjut. Tapi aku memutuskan untuk tidak terlibat langsung dalam proses berkesenian.

Aku putuskan untuk memulai langkah baru. Tahun 2013, aku mulai mengadu nasibku menjadi penulis. Sekadar menulis untuk beberapa situs. Suatu pekerjaan yang harusnya aku lakukan jauh sebelumnya. Tapi, aku terlalu ada di zona nyaman bersama teman-teman untuk proses kesenian. Sesuatu yang aku rindukan bukan soal tampilnya, tapi soal kebersamaan.

Yah nilai-nilai kebersamaan itu mulai terkikis pelan-pelan ketika waktuku lebih habis di depan monitor. Ketika aku lebih banyak mencari sumber, ketika aku bahkan jarang menyapa tetangga di sebelah rumah.

Sebuah resiko yang tidak kuperhitungkan sebelumnya. Langkahku untuk mencari nafkah menjadi penulis ternyata menguraikan aktivitas sosial yang sebenarnya tidak pernah aku hindari. Tidak ada dering sms, jarang sekali panggilan, yang ada hanya pesan masuk lewat surel untuk mengerjakan beberapa artikel dengan deadline yang cukup melelahkan (maklum waktu itu aku tidak bisa mengetik secepat sekarang)

Kesepian semakin terasa ketika aku jarang berjumpa lagi teman-temanku. Teman-teman dan adik-adik di kelompok seni kadang sering menanyakan, kapan bisa kumpul lagi? Sebuah pertanyaan yang kadang aku bingung jawabnya.

Lama merindukan kebersamaan, akhirnya aku menemukan kebersamaan dengan kelompok lain. Mereka adalah para narablog. Aku mengenal orang-orang ini belum setahun tetapi keterikatan akan hobi yang sama, yakni menulis, dan sering bertemu pada acara tertentu membuat rindu akan kebersamaan itu sedikit terobati.

Kami sering makan bersama dalam satu acara tapi tidak jarang juga kami hanya mendapatkan minuman saja. Kami sering dapat hadiah tapi tidak sedikit yang gigit jari atau kalah di suatu lomba. Tapi, puncak kebersamaan itu mulai terasa ketika 3 Juli 2015, kami berkumpul di suaatu acara yang diselenggerakan Kaos Gurita.
Bertempat di sebuah mall yang tidak terlalu ramai, keceriaan itu ada. Aku bergabung bersama teman-teman narablog dengan pakaian hitam sambil berbincang menunggu adzan magrib berkumandang.

Sibuk sendiri  foto via  kaos Gurita
Sibuk sendiri
foto via kaos Gurita

Sebelum itu, ada satu sosok yang membaca. Dengan duduk santai tanpa beban, ia paparkan sebuah tulisan dari sebuah buku seorang pengarang. Sosok itu mengatakan jika buku tersebut sangat bagus dan memiliki gaya penulisan yang baik yang patut dicontoh oleh para narablog itu.

Sosok itu memberikan pelajaran padaku bahwa kita jangan berpuas diri. Teruslah menulis dan belajar dan kalau bisa tulisan mampu memikat pembaca seperti tulisan yang dibacakan oleh sosok itu. Sosok itu adalah orang yang kukenal sekitar enam bulan lalu, Bang Aswi.

Ketika berbuka tiba, kami semua sibuk dengan makanan. Tapi kami juga mengobrol tentang banyak hal. Ada sekitar lebih dari 20 orang disana. Meski tidak terlalu kenal secara personal, tapi bentuk wajah dan nama pastilah ingat. Sekada sapa untuk beberapa orang tapi lebih banyak obrolan bercanda dengan semua orang.

Kebersamaan ini kembali meriuh. Tidak seperti sebelumnya, sebelum berbuka, kami banyak duduk dan terdiam. Kali ini, sehabis makan, kami lebih banyak bercanda dibandingkan sebelumnya. Tidak, bahkan kami lebih gila dibandingkan sebelumnya.

Aku lupa kapan terakhir aku bisa “gila” seperti ini. Bisa mengekspresikan diri tanpa perlu membebani diri sendiri. Tanpa perlu kebohongan untuk menutup diri dan terlihat sok bijaksana. Lihatlah, foto-foto ini menunjukan betapa aku begitu gembira dalam keramaian ini.

Berpose gila (ala ganteng-ganteng blogger)  foto via Sandra
Berpose gila (ala ganteng-ganteng blogger)
foto via Sandra
Pose yang agak memalukan sebenarnya  Foto via Kaos Gurita
Pose yang agak memalukan sebenarnya
Foto via Kaos Gurita

Bahkan, banyak foto yang sebenarnya lebih gila. Ada foto dari ibu-ibu yang tidak kusangka bisa tampil “senorak” itu. Ada foto dari bapak-bapak yang berlagak kayak grup idola. Tidak ada yang salah dengan semuanya. Toh, gaya dalam foto-foto itu adalah bagian dari acara, yakni lomba foto dengan berbagai gaya. Siapa lebih “gila” dan “norak” dialah pemenangnya.

Bukan hanya lomba foto, tapi acara itu juga diisi dengan lomba menulis secara kelompok. Ada empat kelompok yang terbentuk dan keempat kelompok tersebut harus menulis tentang apa yang terjadi di acara tersebut atau hal-hal lain dalam acara tersebut.

Katanya Menculik Walikota  Foto via Kaos Gurita
Katanya Menculik Walikota
Foto via Kaos Gurita

Siapa pemenangnya? Semua. Pemenang pada acara itu menurutku adalah semua. Memang ada satu kelompok yang menang lomba menulis dan ada juga satu kelompok yang menang gaya foto dengan pose “tergila”. Tapi itu hanya sekadar hiburan, yang menang justru adalah kebersamaan. Terlebih bagiku, ini seperti suasana yang baru, suasana yang aku rindukan.
Kebersamaan itu berakhir tepat pukul delapan. Sosok bernama Bang Aswi dan dari pihak Kaos Gurita, mengucapkan terimakasih dengan kemeriahan acara. Tapi, sebenarnyam kalau boleh aku yang harusnya berterimakasih dengan cukup banyak. Bukan soal makanan gratis atau hadiah yang didapat tetapi karena acara ini mengobati kerinduanku pada sebuah kebersamaan.

Aku pun jadi paham, bahwa kebersamaan tidak harus didapat dari satu kelompok atau satu tempat. Ada kelompok lain yang akan memberikan kebersamaan baru, kebersamaan yang mungkin berbeda dari sebelumnya. Kebersamaan dengan para narablog, seperti yang terjadi di Jumat malam itu.