Kesibukannya serta kesuksesannya membuat aku bangga.  Betapa tidak, aku telah menemani suamiku semenjak ia dan aku mulai kehidupan baru dalam sebuah rumah yang sederhana. Sebuah rumah kontrakan dengan hanya satu kamar tidur, ruang keluarga, dan ruang dapur yang sempit yang menyambung ke kamar mandi.

Ia bekerja sebagai seorang business development di sebuah perusahaan berkembang. Sedangkan aku baru satu tahun bekerja sebagai akuntan.

Pekerjaan kami memang terdengar keren.  Gaji kami juga cukup. Tapi kami tahu kalau kami belum bisa membeli rumah. Berniat mencicilnya juga bukan keputusan yang tepat.

Aku dan suamiku tahu kalau mencicil rumah hanya menyisakan masalah jika tidak diperhitungkan dengan benar.

Karena itu, kami berhemat. Kami lebih banyak menabung supaya kami bisa membli rumah dengan tunai.

Aku juga tidak pernah mempermasalahkan hal ini. Pergi ke kantor dengan diantar oleh motor yang ia gunakan semenjak kuliah menjadi rutitnitas sehari-hari. Sering aku digoda oleh teman-teman untuk meminta suami membeli motor baru. Tapi aku tak mau. Aku pikir biarlah dia yang memutuskan kapan akan membeli motor baru.

Sebagai seorang business development, suamiku sebenarnya dituntut untuk memiliki kendaraan mobil. Tapi bukan sebuah keharusan. Suamiku leibh memilih menggunakan motor untuk melakukan pekerjaan. Lebih cepat dan efektif.

Setahun berlalu, suamiku pindah kerja. Masih dengan posisi yang sama tetapi di perusahaan besar. Aku masih bekerja sebagai akuntan tetapi kini kondisiku sedang hamil. Pendaptan kami meningkat tapi kami maish bertahan dengan kondisi yang sama dengan setahun lalu.

Dua tahun berlalu, aku baru berhenti bekerja dan lebih mengurus anakku. Aku pikir ini tidak masalah untuk pendapatanku karena suamiku naik jabatan di tempat ia bekerja. Kondisi ini membuat pendapatan kami meningkat.

Bahkan, bulan depan kami sudah akan punya rumah di sebuah pinggiran kota ibukota. Rumah  itu atas namaku, Mariana Pertiwi. Katanya, rumah itu adalah bukti cinta dia terhadapku. Dan bukti terimakasihnya karena telah mendampinginya sampai sesukses sekarang.
Yah, suamiku orang sukses. Suamiku juga orang sibuk. Kadang ia pergi pagi dan pulang malam. Aku tak pernah mempermasalahkannya. Hanya saja, aku ingin agar sesekali ia sekadar menyapa putrinya. Bermain dengan putrinya yang selalu aku temani. Yang selalu ingin mencoba memanggil papa dengan air mata yang melinang di pipinya.

Tapi, aku tak berani mengungkapkannya.

Pernah suatu ketika aku akan bilang padanya. Aku meminta dia agar jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tapi aku urung.

Waktu itu, pukul 9 malam, kondisinya hujan besar. Hujan yang membuat putriku menangis. Apalagi kadang-kadang terdengar suara petir yang menggelagar menggangu telinga. Suamiku datang dengan wajah pucat dan kelelahan. Mukanya tampak tak menyiratkan senyum. Tampak seraut wajah yang tampan itu hilang ditelan dengan kerut wajah yang kekuning-kuningan.

Jangankan untuk mengatakan keinginan, betanya ada apa pun, aku tak sanggup.

Malam itu, akupun lebih banyak diam dan hanya membantu melepasnya. Ketika kami tidur pun, aku memunggunginya. Aku ingin cepat selesai dan melihat wajahnya yang berseri. Wajah yang ‘memabukanku’ ketika aku jatuh cinta padanya, wajah yang selalu ceria, ketika ia hanya naik kendaran roda dua. Wajah yang hilang yang lama kurindukan.

Dan wajah itu semakin hilang ketika aku menemukan sebuah surat di samping tidurku. Sebuah surat yang meneteskan air amtaku tak habisnya. Sebuah surat yang membuat aku….

 

Maaf, buat kamu khawatir tiap malam. Aku selalu ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dan tak pernah punya waktu untukmu dan putri kita. Tapi ini kulakukan untuk masa depan kita. Bukan hanya kita, tetapi keluarga kita.

Aku harus meningkatkan kerjaku karena perusahaan menjanjikan bonus besar. Aku tahu adikmu akan masuk Fakultas Kedokteran. Dan dia bukan adikmu saja tetapi adikku juga.

Ini hanya sementara, Bersabarlah!

Sebuah surat yang membuat aku terharu. Surat yang menyiratkan seorang suami yang bertanggungjawab. Tetapi ini juga surat yang membuat aku semakin rindu padanya.

 

 

“Halo, Kak” Suara wanita terdengar di sana.

“Yah, Ada apa?’

“Aku ingin menemuimu, Kakak. Ini penting!”

“Aku sedang sibuk kerja sekarang, Malam Jam 7 malam di kafe biasa aja.” jawabku tugas.

Aku langsung tutup teleponnya tanpa mendegar suaranya lagi.  Aku ingin fokus pada pekerjaanku. Tapi, nyatanya aku tak bisa. Suara yang tadi menelepon menggangu pekerjaanku. Suara yang tentu saja aku kenal. Dia adalah Anita, seorang perempuan yang kukenal lewat sebuah komunitas.

Aku pernah menjalin hubungan dengannya. Kami hanya beda 5 tahun. Jadi tidak masalah bagiku dan baginya untuk melanjutkan hubungan ini. Tapi, ternyata kami tak bisa melanjutkan hubungan ini.

 

“Kak, aku minta maaf” gadis cantik dengan rambut panjang terurai ini begitu gemetar suaranya. Ada beban di kata maaf yang ia lontarkan.

Sementara aku hanya diam saja. Aku mencoba tenang di hadapan dia. Meski sebenarnya aku tak tenang lantaran bentuk tubuh Anis yang tampak seperti biola dan dandanannya membuat perasaanku bergairah.

Sempat muncul kembali perasaan untuk kembali bersamanya. Tapi, aku gengsi. Aku sudah putuskan untuk tidak menjalin hubungan dengannya.

“Kak, aku tahu kaka diam. Kakak tak mau maafin aku kan?” Panggilan kakak yang membuatku tampak seperti kaka kandungnya dibandingkan mantannya itu membuat aku ingin membuka mata. Tapi, aku masih tak bisa. Bayang-bayang kenangan masa lalu, masih terlihat jelas, ketika orang tuanya  tak setuju denganku.

 

Yah, aku masih ingat. Ketika aku dan dia bersama-sama. Mengikat janji untuk terus mengarungi hidup. Mengabadikan hidup dalam berbagai momen. Sering foto saat traveling, saat makan, atau saat main wahana.

Kegemaran kami akan fotografi membuat kami semakin dekap. Apalagi, aku dan dia memang kenal di komunitas foto.

Tapi, aku tak bisa melanjutkan kisah indah ini. Orangtuanya lebih memilih untuk menikahkan dia dengan seorang pegawai bank. Orang tuanya tak mau  menjdodohkan aku yang waktu itu bekerja sebagai pekerja paruh waktu.

Maklum, belum banyak orang tua yang yakin penghasilan freelancer seperti aku yang hanya dapat job dari foto dan blog ini bisa membiayai hidup.

Ketika aku ditawari pekerjaan tetap di kantorku sekarang, aku masih tetap tidak bisa melamar Anita. Itu karena Anita sudah dijodohkan dengan orang lain.

Anita memohon padaku untuk membawanya kawin lari. Aku ingat saat itu.

 

“Kak, aku mohon, lebih baik kita kawin lari. Kita pergi ke rumah bibiku di Bandung. Aku akan minta dia menjadi saksi pernikahan kita” katany tersedu-sedu.

“Anita, itu bodoh!.  Realistislah sedikit!” kataku sedikit membentak.

“Apa dengan kawin lari akan nyelesain masalah? Gak Anita. Itu hanya nambah masalah. Dan aku tak mau menambah masalah”

“Kakak tidak mencintaiku kan? Kakak hanya ingin…”

“Anita…”

“Diam, Kak! Aku tahu Kakak hanya mencintai pekerjaan Kakak. Ketika Kakak punya peluang kerja dengan penghasilan tinggi. Kakak menolaknya. Kalau saja Kakak gak menolaknya waktu itu, ayah pasti menyetujui hubungan kita.”

“Anita, ini bukan soal berapa gaji yang kuinginkan”

“Diam Kak! Aku gak mau basa-basi. Lebih baik aku gak menemui kakak lagi’

“Itu lebih baik, Anita!”

Aku ingat saat itu, aku pergi meninggalkannya dalam keadaan menangis dan aku tak pernah menemuinya lagi.

Dan kini, Anita ada di hadapanku. Ia meminta maaf. Ia ingin kembali padaku.

“Anita, aku terima maaf kamu. Aku juga minta maaf. Tapi, bukannya aku tak mau kembali padamu. Tapi, aku tak bisa. Pulanglah! Lebih baik nikahi pilihan ayahmu yang telah kamu tundah sampai 5 tahun ini.

“Aku tak bisa melupakanmu, Kak”

“Aku tahu, tapi hidup punya resikonya masing-masing. Piilihan itu akan selalu sulit tetapi, selalu ada keputusan baik meski kamu memilih jalan yang terburuk”

Malam itu, hujan semakin lebat saja. Derainya begitu menusuk, tapi derai air mata di pipi Anita, lebih dari segalanya.

Dan tiba-tiba, aku mendapati panggilan tak terjawa dari istriku ketika aku cek handphoneku.

*

Kadang aku tidak pernah mengerti pikiran kakak iparku. Kadang ia menjadi penyayang pada kakakku, kadang ia terlihat tak mempedulikan kakakku.  Di saat seperti itu, aku selalu marah padanya tapi itu hanya dalam hati. Apalagi, kakakku kadang sering menangis ketika ia rindu kakak iparku yang selalu sibuk melulu.

Aku tak pernah dekat dengan kakak iparku sebenarnya. Menyapanya saja juga buat aku segan. Tapi, apapun perilakunya, yang aku tak tahu dia tak akan membiarkan orang-orang yang dicintainya tidak bahagia.

Seperti sekarang, ketika aku menikah dengan orang yang kucintai, seorang wartawan yang mencitaiku dengan tulus. Kakak iparku lah yang hampir membiayai pernikahan ini. Bukan hanya itu, sekitar 8 tahun lalu, ketika aku kuliah, dialah yang membiayaku.

Aku pikir dia tak mau melihat orang-orang terdekatnya kekurangan. Itulah kenapa ia memilih untuk bekerja keras dan membuang keinginan terbesar dan renjananya.

 

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com