Sudah terbiasa bagi saya (sebagai penulis blog ini) untuk terbangun pada pagi hari dan menatap matahari sebelum dia muncul. Begitu juga dengan hari itu. Terbangun pukul 3 pagi. Bukan! Bukan untuk makan Krabby Patty. Hanya sekadar melihat suasana kota di pagi hari.
Bukan apa-apa, penulis kala itu berkesempatan melihat suasana pusat kota dini hari. Tepatnya, di sebuah hotel yang menjulang tinggi menghadap pusat perbelanjaan ternama. Penulis iseng keluar ketika semua masih terlelap. Berharap bisa melihat bintang fajar, tapi menulis mendapati kalau Jalan Merdeka Bandung basah karena hujan.

Tidak cukup deras memang tapi bisa membuat baju penulis basah. Untungnya, penulis diberi payung oleh orang yang berjaga malam di pintu depan hotel tersebut. Melangkahlah penulis ke depan Jalan Merdeka.
Ingin mendapati suasana berbeda, penulis malah terasa sentimentil. Tiba-tiba ingatan menjulang, melompat cepat ke 11 tahun lalu.
Ke suatu malam di bulan Oktober 2005 di pelataran Mall di depan ini.
Bulan Tak Sempurna di Atas Jalan Merdeka

Ada bunga yang diberikan penulis untuk orang yang juga bernama Bunga. Dengan berdiri pada kedua kaki, dan dia duduk di ketinggian, penulis menatapnya tajam. Sebuah tatatapan yang mengisyaratkan keseriusan. Sebuah isyarat dari gejolak muda penulis akan cinta, harapan, dan sesuatu yang menyenangkan.
Dan di pelataran itu, penulis memberanikan diri memberikan bunga, mengatakan kata yang selalu ingin dengar oleh setiap wanita dari pria yang dicintainya. Seribu debaran tentu saja menghantui penulis saat itu. Apalagi perempuan di depan mata itu sempat membuat kecil hati penulis.
“Tahu ga man? Kalau kamu mencintai seseorang, kamu harus mencintai dengan sepenuh hati.” Kata dia saat aku bilang ada orang yang kusuka tetapi aku belum menyebut namanya.
“Kamu lihat bulan di atas sana?” katanya lagi. Muka penulis mendelik ke atas. Penulis melihat bulan yang tak sempura, bulan setengah bayang, yang jarang dijadikan latar sebuah film romantis.
“Kalau kamu mencintai seseorang, cintailah dia seperti bulan purnama. Jangan seperti bulan diatas sana! Hanya separuh bayang. Cintailah orang yang kamu sayangi seperti purnama yang utuh dan menyeluruh” katanya pasti.
Kalimat itu selalu diingat oleh penulis. Kalimat itu juga yang membuat penulis yakin kalau perempuan di depan ini akan menerima rasa sayang penulis. Dan begitulah… semua indah ketika itu.
Sebuah peristiwa seperti seorang putri yang mendapatkan bunga dari sang pangerannya.
Betapa ingatan itu membuat penulis tersenyum sendiri. Senyum karena penulis seperti seorang pecinta konyol tetapi juga menyenangkan karena penulis pernah merasakan peristiwa itu. Apalagi, dialognya tidak mengada-ngada.
Yah, perlu pembaca tahu kalau dialog tersebut memang dikatkan demikian, tidak dilebihkan seperti sinetron romansa picisan.
Yang Terkasih di Rumah Sakit Sariningsih
Keindahan akan kenangan di Oktober 2005 itu menjadi sirna seketika ketika penulis menengok ke kiri. Ke sebuah perempatan yang mempertemukan Jalan Merdeka dan Jalan Riau. Perempatan itu bukanlah kenangan, tetapi sebuah bangunan di sebrang sana membawa ingatan pada kisah yang terkasih di sebuah tempat bernama Rumah Sakit Sariningsih.
Peristiwa itu berlangsung ketika sebagian dari pembaca masih senang dengan sinetron manusia milenium. Sebagian lagi senang dengan lagu Westlife dan sinetro Amigos yang kehebohannya sama seperti kehadiran sinetron Elif dan Utaran yang diputar di 2016 ini.

Usia penulis kira-kira 13 tahun. Belum sekolah di Bandung. Tapi, saat itu penulis harus menemani sang Ibu kandung. Penulis tidak begitu mengerti mengapa ibunda tercinta harus ada di tempat ini. Yang penulis tahu saat itu, ibunda sedang sakit.
Menemaninya adalah pengalaman berharga bagi penulis. Bersama sang ayah, penulis bisa menceritakan segal hal. Tentang impian penulis ketika besar, kuliah di Unpad, dan bisa memiliki penghasilan besar. Sebuah mimpi sederhana dari anak kelas satu SMP.
Tapi penulis juga cukup nakal. Mengenal permainan dindong membuat penulis ketagihan. Suatu malam, ingat betul penulis tidak pamit dari ruangan sang ibu. Penulis lari ke lantai atas Bandung Indah Plaza. Saat itu, di lantas atas, adalah game center dengan banyak mesin arcade atau dindong. Penulis bermain tanpa mengenal waktu. Melupakan segala hal dan sang ibu.
Ketika pulang ke rumah sakit, penulis mendapati sang ayah sudah di depan sambil membaca koran. Dengan muka yang tidak tenang menasehati penulis untuk tidak berkeliaran. Katanya, ibu sangat khawatir.
Merasa bersalah, penulis lebih banyak diam malam itu.
Tentu saja penyesalan selalu datang belakangan. Karena beberapa bulan kemudian, ketika belum genap 40 hari ditinggalkan sang nenek, ibunda harus menyusulnya. Sejak itu, ketika penulis ke Bandung, dan melewati rumah sakit Sariningsih, penulis selalu ingat sang ibunda terkasih.
Mengingat hal ini sedikit membuat penulis menitikan air mata. Walau penulis memakai payung, pipi ini tetap saja basah. Ah sudahlah…
Tetiba, penulis tak menyadari kalau langkah kaki ini kemudian berhenti di perempatan itu. Menelisik tiap jalan yang menghubungkan ke banyak tempat. Misalnya jalan yang lurus ke depan itu, ke arah Dago. Jika terus lurus sampai pada perempatan di bawah jembantan layang, ada jalan ke kanan ke arah Dipatiukur. Sementara jalan ke kiri ke ITB dan Sabuga.
Sabuga dan Senyum Wisuda

Jalan memanjang itu tentu mengingatkan penulis akan sebuah kenangan menyenangkan. Dalam lamunan itu, penulis mendapat pesan dari teman yang sekarang ada di Jepang. Seorang perempuan yang penulis sejak memakai putih abu.
Di Jepang, matahari sudah bersinar. Dia bilang dia akan liburan ke satu tempat Jepang. Suatu kabar yang bikin iri penulis saja.
Oh yah teman penulis itu namanya Fitiri. Sama-sama lahir di bulan Mei seperti penulis. Sedkit keras kepala tetapi tegas. Dia salah satu teman penulis yang cukup baik dan menyenangkan. Penulis ingat betul ketika penulis wisuda, dia adalah teman yang ada.
Empat tahun lalu, di Agustus 2012, penulis keluar dari gedung tempat berlangsungnya wisuda, Graha Sanusi Unpad Dipatiukur. Fitri bersama pacarnya ada disana memberikan bunga tanda terimakasih. Sesuatu yang tidak saya dapat dari teman sekampus penulis. Maklum, semuanya sudah pada lulus duluan.
Sebuah bunga sebagai ucapan selamat. Tentu saja bunga ini beda maknanya dengan bunga yang penulis berikan pada seseorang yang sudah diceritakan. Tidak ada momen foto bareng yang begitu ramai. Penulis juga lupa saat itu siapa yang merekam momen. Untung, ada satu foto wisuda yang menarik.

Setelah wisudah, penulis diajak Fitri dan temannya untuk makan malam di restoran Jepang. Tempatnya di Ciwalk. Kami cukup lama berbincang disini. Tidak ada cerita yang istimewa disini. Hanya soal janji penulis untuk datang ke wisuda Fitri beberapa bulan kemudian di Sabuga.
Hari itupun tiba, penulis datang dengan bunga. Datang pada Fitri yang sumringah di hari istimewanya. Sempat foto bareng juga. Kami tersenyum bersama dan kemudian sedikit menceritakan mimpi kedepannya. Senyuman cukup menggema ketika ia meyakinkan kalau saa akan menikah duluan. (Sebuah ramalan yang tepat Fitri).
Itu satu-satunya momen penulis datang ke Sabuga untuk menghadiri wisuda.
Di lain kesempatan, penulis sering ke Sabuga untuk berbagai acara. Pertama saat 2006, ketika itu hari pers nasional di Februari 2006. Penulis datang ke Sabuga sendirian. Kedua, saat penulis mengunjungi acara pameran buku. Lupa tepatnya. Ketiga, saat pementasan drama musikal Lutung Kasarung. Keempat, saat Wisuda Fitri. Dan kelima, saat Festival TIK berlangsung tahun 2015.
Intermezo
Ingatan itu begitu sentimentil di pagi yang dingin itu. Kadang Suka, Kadang Sedih seperti judul film India (noted Kabhie Kushie Kabhie Gham). Saat suka, senyum ini terbentuk saja. Saat sedih, kadang ada air mata menetes. Bukan cengeng tapi ini sekadar mengingat memori lama yang duka. Kalau saat itu ramai, mungkin payung ini tak akan penulis pakai. Biar basah dan air mata di pipi menghilang.

Ah, daripada terus menerus mengingat masa lalu, penulis memutuskan untuk kembali ke kamar hotel. Tapi, langkah kaki di pinggir Jalan Merdeka itu selalu membawa kenangan. Kenangan bersama teman-teman bahkan mantan.
Masih ingat di pikiran penulis, di suatu siang di pinggir jalan depan Gramedia, penulis berjalan bersama pacar, tetapi di depan ada mantan yang sedang dengan ibunya. Dia menatap orang penulis dan orang di samping penulis. Penulis kaget, mau menyapa tapi sang mantan memberikan kode untuk diam. Mungkin dia tidak mau ibunya tahu kalau dia berpapasan dengan alumni hatinya.
Rumentang Siang dan Sorot Lampu yang Dirindu

Sedikit basah baju ini memang. Tapi tak apa, penulis bakal ganti baju. Lagipula, nanti menjelang subuh, penulis akan mandi. Membersihkan badan meski tubuh cukup kedinginan.
Penulis merebahkan diri di kamar hotel. Selimut hotel yang tidak terlalu membuat hangat membuat penulis masih kedinginan. Atau mungkin karena udara pagi di kota ini yang bikin menggigil kali yah.
Saat berbaring itu, penulis ingat kalau hari itu 21 Februari itu. Bukan hari yang perlu dingat memang. Tetapi, sepuluh hari sebelumnya, yakni 11 Februari adalah hari kelahiran kelompok seni yang penulis dirikan bersama teman-teman penulis lainnya di Bandung. Kelompok seni itu bernama Menara Oza.
Nah, kebetulan pada 21 Februari itu, Menara Oza mengadakan acara perlombaan untuk anak-anak. penulisngnya karena kegiatan di hotel ini, penulis tidak bisa ikut serta. Penulis juga tidak terlalu ikut membantu sebagai pantia sehubungan dengan kesibukan penulis bekerja.
Tapi tentu saja itu tak menyurutkan rasa cinta penulis terhadap kelompok ini. Kelompok yang selalu penulis perjuangkan untuk terus hidup dalam dunia seni, baik seni tari maupun seni teater.
Masih ingat dalam memori penulis ketika kami ingin tampil di Gedung Rumentang Siang Kosambi. Gedung ini bisa dikatkan sebagai “markas” kelompok seni pentas. Betapa tidak, gedung ini sering digunakan untuk kegiatan festival kesenian, terutama festival teater.
Bermimpi untuk pentas di Rumentang Siang tentu menjadi salah satu keinginan kami selain tampil di Gedung Taman Budaya Dago. Tapi, uang sewa yang cukup mahal seharinya membuat kami urung untuk pentas di tempat ini. Tapi, kami tetap harus melanjutkan mimpi kami untuk pentas.
Kesempatan pentas itu ada. Tepatnya pada pertengahan 2006, 10 tahun lalu. Kami pentas di IFI alias Institut Francis Indonesia (dulu bernama Pusat Kebudayaan Perancis Bandung / CCF).
Sorot lampu dan riuh penonton kami rasakan saat itu. Kami pun sempat terpampang di koran dan terkena kritikan dari seorang wartawan Budaya. Suatu hal yang tak kami duga.

Dua tahun kemudian, kami pentas kembali di tempat sama. Kini pertunjukan lebih rapi dibandingkan sebelumnya. Dan kami tetap terkena sorot lampu panggung itu.
Mimpi kami di Rumentang Siang terwujud juga di tahun 2008. Kami mengikuti Festival Drama Basa Sunda di tahun tersebut. Ingat betul rasanya kalai itu, saat penulis pentas terlalu berlebihan. Adegannya adalah saat penulis menendang seorang penjahat. Tendangan penulis tenyata cukup keras. Cukup bikin sakit teman penulis yang memerankan penjahat tersebut.
Kami tak menang di festival tersbut. Tujuannya kami hanya ingin berpartisipasi. Hal yang sama terjadi ketika kami ikut kembali pada ajang yang sama. Tetap, kami tak mengejar kemenangan. Kami lebih senang oleh sorot lampu panggung di Rumentang Siang. Sesuatu yang membuat kami selalu rindu panggung di atas sana.
Senandung di Pinggir Cikapundung

Gelap dini hari perlahan mulai terang. Penulis tak sadar kalau waktu begitu cepat berlalu. Seolah baru tadi rebahan, suara adan berkumdang, dan tiduran sebentar. Kini, pagi sudah menjelang di tengah kota Bandung.
Penulis turun ke lantai 3 hotel tersebut. Lantai 3 ini adalah sebuah restoran dengan suasana yang indah dan romantis. Apalagi, dari lantai 3 ini, ada beranda yang membuat penulis bisa melihat Jalan Merdeka dan sekitarnya.
Asik rasanya kalau di tempat ini makan berdua. Terbayang sosok dia di pagi hari. Ah, penulis belum sempat memberikan kabar padanya.
“Sudah bangun? Oh yah pulang jam berapa?” sebuah pesan masuk dari pagi yang tak sempat penulis baca.
“Udah dari tadi. Maaf baru ngasih kabar” Penulis pun membalas dengan cepat dan memberitahukan dia kalau hari ini ada kegiatan ke Pangalengan. Penulis bilang pulang sore atau siang.
Ah, bersyukur rasanya punya calon pendamping seperti dia yang selalu perhatian. Calon yang baru penulis temui 15 bulan yang lalu di Ciwastra dalam sebuah hujan sore hari. Sejak itu, penulis serius untuk bersama dia.
Tapi penulis tahu butuh waktu baginya untuk mencintai dengan sepenuh hati. Meski mengiyakan, ia butuh beberapa bulan untuk bertekad bulan menjadi perempuan terbaik yang terus mendampingi penulis.

Sampai suatu ketika di sekitaran Asia Afrika, penulis menikmati sore yang luar biasa dengannya. Mengitari Asia Afrika, alun-alun dan duduk berdua Cikapundung Riverside. Menjelang lampu mulai menyala dan awan kota Bandung mulai gelap, saat itulah penulis tahu dia mencintai penulis sepenuh hati, lebih dari satu purnama yang utuh. Kalau ini sebuah film, mungkin suasana itu akan terdengar sebuah senandung senja yang terdengar indah di telinga.
Semua fragmen kenangan itu kemudian berakhir ketika penulis menyantap makanan. Apalagi matahari sudah terang benar. Saatnya mengingat semua kenangan itu dalam sebuah tulisan yang panjang….
Disclaimer : Gambar atau foto yang tak tercantum sumber merupakan koleksi pribadi penulis
ayah saya pun meninggal di RS di kota bandung, tepatnya di Boromeus. Kenangan senang dan sedih pernah saya alami di bandung
kapan meninggalnya teh?
suka dengan storytellingnya, mengalir indah membuat saya membayangkan menjadi “penulis”
cocok untuk dibuatkan film jenis road movie
Diceritakan dengan sepernuh hati.
terima kasih sudah berbagi mas,
salam juga dari Bandung 🙂